Catatan Dini Hari; Agar Tak Lupa
Aku
merebahkan tubuhku untuk yang entah keberapa kalinya. Mataku hari itu sedang
tak bersahabat untuk terlelap pada jam-jam yang umumnya mata orang terlelap. Ia
justru memberi sinyal untukku membuncahkan segala pikiran, segala rasa.
Pukul 1.12, aku terbangun dengan pikiran kalut, dan aku terlunta mengingat-ingat bangunan mimpi dalam imajiku yang baru saja roboh diguncang ribuan kata yang berbondong, seperti layaknya antrean sembako gratis diakhir bulan. Aku terbangun dengan degup yang lebih kencang dari biasanya. Merasa ingin marah, merasa ingin meledakkan seisi kepala. Aku merasakan gelisah yang tak biasa, hatiku tak tenang. Namun kepalaku mengundang sistem saraf yang menggerakkan tangan, memintanya meraih pena, untuk kemudian datang ke pesta pikiranku malam itu. Aku menulis, segala yang aku rasa, yang mungkin lebih daripada itu.
Sekurang-kurangnya pukul 2.23, aku mendapati kalimat yang membuatku godek setelah ku katakan bahwa aku ingin teriak sekencang-kencangnya.
Sempat melongo membacanya.
Bicara tentang syukur, mungkin takkan ada habisnya. Meskipun sebetulnya aku sendiri tak tahu bagaimana mengukur diri sendiri sudah bersyukur atau belum. Tapi, seperti yang dikatakannya, aku mencoba menjawabnya dengan hati, menghubungkan semua unsur yang ada dalam diri, dan menjawabnya tanpa malu, tanpa naif, tanpa filter, “belum”.
“belum, belum sempurna syukurku” maksudku.
Aku hanya selalu mengucapkan hamdalah setelah ku dapati ada nikmat dari-Nya. Aku tahu itu sebahagian dari syukur, tapi aku juga tahu, itu saja takkan cukup.
.
(Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4837 dan Muslim, no. 2820)
Sebegitu besar Nabi mensyukuri nikmat yang Allah limpahkan kepadanya, sehingga sekali lagi aku mendapati diriku yang belum sempurna syukurnya.
Aku rasa, Allah betul-betul sedang menyentilku malam itu melalu perantara-Nya yang baik. DIA menginginkanku mendekat, mendekap, agar aku tak lagi luput akan nikmat-Nya, tak lagi luput akan hadir-Nya.
Aku menulis, dan terus menulis.
DIA yang Maha Baik, telah menciptakan aku, pena, kata, dan rasa, menciptakan akal dan hati sehingga bisa mengenal rasa. Ku pikir, aku memang harus terus menulis untuk bisa mensyukurinya lebih dari sekadar berucap hamdalah. Terlepas seseorang akan asyik membacanya atau tidak. Aku tak lagi peduli, sebab aku meyakini sebuah kalimat yang ku temukan di salah satu media sosial berbunyi "tulisan akan selalu menemukan pembacanya."
Mata sang masih keturunan adam, rupanya bernasib sama dengan mataku malam itu. Dialah yang pada akhirnya mengantarkanku pada sebuah titik temu antara aku, gundahku, syukur, dan kegilaanku akhir-akhir ini. Berkata sekaligus mengingatkan “Biarkan darah sastramu mengalir, terus menulis karena naluri, bukan glori atau royalti. Sejatinya sastra harus dinikmati dari hati-ke-hati. Ku harap kelak kau akan menemukan kedamaian saat menulis dengan Asma-Nya.” Aku bukan hanya sekadar Aamiin setelah membacanya, tapi ku ingat juga agar menempel di kepala.
Kemudian aku melanjutkan menulis.
Hingga sesaat setelahnya, aku tersenyum, menyadari bahwa gundahku malam itu melahirkan begitu banyak kata. Hehe. Aku juga bersyukur karena gundahku bukan lagi gundah yang sejenis dengan anak remaja beserta persoalan cinta monyet mereka. Dan lebih daripada itu, aku bersyukur karena menemukan jalan keluar atas segala gundahku.
Menulis. Aku hanya perlu menulis, dan bersyukur, agar tak lupa untuk selalu meletakkan titik di akhir tulisan.
Sekian, ku catat, agar tak lupa.
*lagi-lagi telat posting heuheu*
-Aisyahf-
Pukul 1.12, aku terbangun dengan pikiran kalut, dan aku terlunta mengingat-ingat bangunan mimpi dalam imajiku yang baru saja roboh diguncang ribuan kata yang berbondong, seperti layaknya antrean sembako gratis diakhir bulan. Aku terbangun dengan degup yang lebih kencang dari biasanya. Merasa ingin marah, merasa ingin meledakkan seisi kepala. Aku merasakan gelisah yang tak biasa, hatiku tak tenang. Namun kepalaku mengundang sistem saraf yang menggerakkan tangan, memintanya meraih pena, untuk kemudian datang ke pesta pikiranku malam itu. Aku menulis, segala yang aku rasa, yang mungkin lebih daripada itu.
Sekurang-kurangnya pukul 2.23, aku mendapati kalimat yang membuatku godek setelah ku katakan bahwa aku ingin teriak sekencang-kencangnya.
“Teriak itu efek leganya singkat.
Kamu sudah bersyukur? Yang benar-benar bersyukur?”
Sempat melongo membacanya.
Bicara tentang syukur, mungkin takkan ada habisnya. Meskipun sebetulnya aku sendiri tak tahu bagaimana mengukur diri sendiri sudah bersyukur atau belum. Tapi, seperti yang dikatakannya, aku mencoba menjawabnya dengan hati, menghubungkan semua unsur yang ada dalam diri, dan menjawabnya tanpa malu, tanpa naif, tanpa filter, “belum”.
“belum, belum sempurna syukurku” maksudku.
Aku hanya selalu mengucapkan hamdalah setelah ku dapati ada nikmat dari-Nya. Aku tahu itu sebahagian dari syukur, tapi aku juga tahu, itu saja takkan cukup.
.
Mengutip
sedikit tentang syukur dari muslim.or.id bahwa sesungguhnya Al-Bukhari dan
Muslim menceritakan di dalam kitab Shahih-nya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun shalat malam
hingga kedua kaki beliau bengkak. Lalu istri beliau, yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, ”Mengapa Anda melakukan
ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang dulu maupun yang akan
datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab:
.
.
أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
”Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba
yang bersyukur?”
(Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4837 dan Muslim, no. 2820)
Sebegitu besar Nabi mensyukuri nikmat yang Allah limpahkan kepadanya, sehingga sekali lagi aku mendapati diriku yang belum sempurna syukurnya.
Aku rasa, Allah betul-betul sedang menyentilku malam itu melalu perantara-Nya yang baik. DIA menginginkanku mendekat, mendekap, agar aku tak lagi luput akan nikmat-Nya, tak lagi luput akan hadir-Nya.
Aku menulis, dan terus menulis.
DIA yang Maha Baik, telah menciptakan aku, pena, kata, dan rasa, menciptakan akal dan hati sehingga bisa mengenal rasa. Ku pikir, aku memang harus terus menulis untuk bisa mensyukurinya lebih dari sekadar berucap hamdalah. Terlepas seseorang akan asyik membacanya atau tidak. Aku tak lagi peduli, sebab aku meyakini sebuah kalimat yang ku temukan di salah satu media sosial berbunyi "tulisan akan selalu menemukan pembacanya."
Mata sang masih keturunan adam, rupanya bernasib sama dengan mataku malam itu. Dialah yang pada akhirnya mengantarkanku pada sebuah titik temu antara aku, gundahku, syukur, dan kegilaanku akhir-akhir ini. Berkata sekaligus mengingatkan “Biarkan darah sastramu mengalir, terus menulis karena naluri, bukan glori atau royalti. Sejatinya sastra harus dinikmati dari hati-ke-hati. Ku harap kelak kau akan menemukan kedamaian saat menulis dengan Asma-Nya.” Aku bukan hanya sekadar Aamiin setelah membacanya, tapi ku ingat juga agar menempel di kepala.
Kemudian aku melanjutkan menulis.
Hingga sesaat setelahnya, aku tersenyum, menyadari bahwa gundahku malam itu melahirkan begitu banyak kata. Hehe. Aku juga bersyukur karena gundahku bukan lagi gundah yang sejenis dengan anak remaja beserta persoalan cinta monyet mereka. Dan lebih daripada itu, aku bersyukur karena menemukan jalan keluar atas segala gundahku.
Menulis. Aku hanya perlu menulis, dan bersyukur, agar tak lupa untuk selalu meletakkan titik di akhir tulisan.
Sekian, ku catat, agar tak lupa.
*lagi-lagi telat posting heuheu*
-Aisyahf-
Komentar
Posting Komentar