Catatan Dini Hari; Agar Tak Ada Lagi Tangis

Aku terbangun dari ambang mimpi, mendapati sepi yang setia malam ini. Langsung bertatap, bergelut dan berdiskusi secara intens dengan Freud, Klein, Mahler, Kohut, Bowlby, beserta psikoanalisis dan teori relasi objeknya, tanpa basa-basi.

Aku kedapati mereka untuk mendengarkan, yaa, mendengarkan. Mereka berkisah banyak hal, bercerita tentang ini dan itu, mempertanyakan mengapa harus ada ini dan itu. Mereka punya kisah persahabatan masing-masing yang sama-sama dipertemukan lewat ilmu pengetahuan.
Malam ini, kami berdiskusi ria, berbincang lewat buku, dan sepi. Setelahnya, aku menangis sekencang-kencangnya, sendirian, tepat setelah Freud dkk pamit undur diri. Itulah waktuku bertatap dengan diri, dengan Yang Menciptakan aku dan segala ilmu pengetahuan.

Kemudian dadaku berdenyit, seperti suara pintu karat yang dibuka-tutupkan berulang kali, ngilu. Aku menangis lagi, lebih kencang, kemudian tenang setelah hatiku tiba-tiba ditiupkan kedamaian, perasaan yang begitu hebat, seperti DIA ada dalam diri ini, menenangkan degupku yang sedari tadi berderu-deru. Tetapi, suara batuk Anna Freud tiba-tiba mengusikku, ia (tanpa aku sadari) telah berdiri dibelakangku mempertanyakan ayahnya, Sigmund Freud. Ku katakan dengan lembut padanya "beberapa menit yang lalu, ia pamit meninggalkan rumahku, dan sekarang ia ada tepat didalam batok kepalaku, bersama Klein dan yang lainnya". Dia tersenyum dan mengucapkan maafnya karena telah mengalihkan zona damaiku. Aku mengangguk "tak apa. Pulanglah, ini sudah larut". Maka, Anna pun setuju dan pamit, mungkin ia menyadari ayahnya akan menetap sementara di kepalaku.

Aku kembali dengan duniaku yang penuh damai malam ini, bersama Sang Maha Mendengarkan, Maha Melihat, dan Maha Mengetahui. Ku tengadah tangan ini dan ku tundukkan tatapku pada sebuah titik di tempat sujudku. Bercerita pada-Nya tentang apa yang ku terima dan ku lalui akhir-akhir ini. Aku mengadu pada-Nya, tentang Freud dan Klein yang kerap kali menggangguku untuk (secara terpaksa) berdiskusi bersama setiap hari. Aku kesulitan memahami setiap yang mereka katakan, aku hanya berusaha membacanya berulangkali sambil berlagak layaknya seorang pendengar yang baik. Kemudian aku memohon untuk diberi kepahaman yang berarti oleh-Nya, karena aku tahu DIA Maha Mendengarkan, lagi Mengetahui.

Beberapa saat setelahnya, aku terlelap. Dalam lelapku, aku bertemu begitu banyak kata-kata yang berserakan. Aku bingung, aku pusing melihat semua itu, kata-kata yang saling menabrak satu sama lain, saling berhamburan, berkeliaran dengan bebas. Tiba-tiba sesuatu seperti memukulku, salah satu dari sekian banyak kata-kata itu ternyata menabrak wajahku. "Oh! Aw! Sakit!" Pekikku. Aku terbangun dari lelapku karena kagetnya, dan menyadari sesuatu telah menyakitiku. Aku bangkit dan mengambil air wudlu, untuk kembali dalam zona damaiku, menemui Sang Maha Pengampun. Aku berdiam diri. Melamuni sesuatu tanpa melamun. Aku sadar sesadar-sadarnya. Tiba-tiba pipiku basah satu tetes dua tetes lebih dan lebih banyak tetesan membasahi. Mulutku bergetar, tanganku kaku. Sesuatu membisiki telingaku, berkata padaku "ada apa, duhai sayangku" suara yang membuat jantungku berdebar hingga hampir terengah menyerah. Aku berkata dengan terbata-bata "Ampuni aku. Ampuni aku. Ampuni aku yang enggan menghadap-Mu lebih lama. Ampuni mereka yang tak bosan-bosannya menyakitiku. Ampuni kami, dekap kami dalam rahmat-Mu, duhai Sang Maha Pengasih". Aku menangis lagi, dan lagi malam ini. Sampai setelahnya akupun berlelah diri, tenagaku terkuras habis oleh airmata itu. Dan uh! batinku serasa seperti lega dan lapang. Menenangkan.

Beberapa saat kemudian, selebaran kertas tiba didepanku bertuliskan kalimat yang cukup panjang, "Hai, sayangku. Freud dkk mungkin akan tiba lagi besok, bersiaplah setiap waktu. Dan tak ada yang akan menyakitimu lagi sekarang. Percayalah padaku, aku melihatmu semalam, menghapuskan airmatamu yang tak henti-hentinya bercucuran. Oh! Satu lagi, jangan berdegup terlalu kencang, sayang. Itu musik yang paling menyakitiku. Kau harus terus belajar agak bisa bermusik lebih indah. Aku mencintaimu"

Setelahnya, aku mengucapkan hamdalah. Bersyukur, agar tak lupa untuk selalu meletakkan titik di akhir tulisan.

Sekian, ku catat, agar tak ada lagi tangis.


Ps. Reading is such a sweet conversation. All books talk, and a good book listens as well.

Pss. This is my sweetest conversation which successfully written.

-Aisyahf-

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer